Big Data Analytics untuk DJP

Konsultan Pajak Indonesia – Big Data Analytics untuk DJP – Pajak Lebih Presisi? Bayangin gini. Negara lagi butuh duit gede, tapi sumber penerimaan kayak minyak dan gas makin tipis. Pilihan paling masuk akal? Pajak. Tapi masalah klasiknya sama terus: banyak wajib pajak yang ngemplang, data pajak berantakan, dan potensi penerimaan nyangkut di celah-celah abu-abu sistem lama.

Di titik ini, pertanyaan muncul: gimana kalau Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pake Big Data Analytics buat ningkatin presisi pemungutan pajak? Apakah sistem perpajakan Indo bisa naik level jadi lebih tajem, efisien, dan minim bocor? Atau malah bikin negara jadi “mata-mata digital” yang ngawasin tiap gerakan finansial lo?


Kita mulai dari realita. Pajak di Indo selama ini masih banyak bergantung pada self-assessment system. Artinya, wajib pajak ngitung dan ngelaporin sendiri pajaknya. Negara tinggal ngecek dan ngawasin. Masalahnya, sistem ini gampang banget dimainin. Ada orang lapor pajak kecil padahal omzetnya miliaran. Ada perusahaan yang main transfer pricing buat nurunin profit. Ada pula yang sama sekali gak nyentuh sistem pajak.

DJP sebenernya udah sadar. Mereka mulai kumpulin data lintas sektor. Ada data perbankan, transaksi e-commerce, sampai data kepemilikan aset. Tapi jumlahnya gede banget, literally gunung data. Kalau pake cara lama, mustahil dianalisis semua. Nah, di sinilah Big Data Analytics masuk.


Apa sih Big Data Analytics? Simpelnya, teknologi ini bisa ngolah data dalam jumlah super masif dengan kecepatan tinggi, dan ngeluarin insight yang selama ini gak kebayang. Bayangin DJP punya akses ke data jutaan transaksi e-commerce tiap hari. Kalau dianalisis manual, pasti impossible. Tapi dengan machine learning dan AI, pola kecurangan bisa kebaca. Misalnya: ada seller yang lapor omzet cuma 10 juta, padahal di marketplace tercatat jualan ratusan juta.


Contoh real di luar negeri udah ada. IRS di Amerika, misalnya, udah lama pake data mining buat ngidentifikasi pola tax evasion. India bahkan pake AI buat nyocokin transaksi GST (Goods and Services Tax) dengan data keuangan. Hasilnya? Penerimaan pajak melonjak. Jadi wajar kalau Indo juga ngiler pengen coba.

Kalau di Indo, aplikasi paling gampang kebayang ada di sektor e-commerce dan fintech. Data transaksi dompet digital kayak OVO, GoPay, DANA, atau ShopeePay itu tambang emas buat pajak. Selama ini, banyak transaksi nongol di sana tapi gak tercermin di laporan pajak. Kalau DJP bisa nyedot data itu, terus dianalisis pake Big Data, ketahuan deh siapa yang main-main.


Tapi tunggu. Masalahnya gak sesederhana itu. Pertama, soal regulasi. Data pribadi warga dilindungi UU PDP. Artinya, DJP gak bisa asal ambil data dari platform. Harus ada prosedur, batasan, dan persetujuan. Kalau enggak, bisa jadi abuse of power.

Kedua, soal kepercayaan publik. Kalau warga ngerasa tiap transaksi digitalnya diawasi negara, bisa muncul resistensi. Orang jadi takut belanja online atau pake dompet digital. Padahal tujuannya bukan buat ngawasin belanja harian, tapi ngeliat pola besar.


Sekarang kita bahas peluang. Dengan Big Data, pajak bisa lebih presisi. Misalnya:

  • Wajib pajak high net worth individual yang punya gaya hidup mewah bisa ke-detect lebih gampang. Kalau dia posting liburan ke Eropa tiap bulan, beli mobil sport, tapi laporan SPT-nya minus, sistem bakal nge-flag otomatis.
  • Perusahaan besar yang main transfer pricing bisa ke-detect dari pola transaksi antar-entitas. Kalau harga jual antar afiliasi terlalu rendah, sistem bisa tandain.
  • UMKM digital juga bisa lebih terdata. Selama ini banyak UMKM online yang gak tercatat, padahal omzetnya udah miliaran.

Presisi kayak gini bisa bikin tax gap (selisih antara potensi dan realisasi pajak) makin kecil.


Tapi ada risiko besar. Pertama, data overload. DJP mungkin punya akses ke banyak data, tapi kalau gak punya infrastruktur kuat, ujung-ujungnya data numpuk doang tanpa bisa dipakai. Kedua, kapasitas SDM. Butuh ahli data scientist, machine learning, dan analis statistik buat ngolah data. Pertanyaannya: apakah DJP udah siap?

baca juga

Kita juga gak bisa tutup mata soal isu korupsi. Data segede itu bisa jadi senjata. Kalau jatuh ke tangan yang salah, bisa dipake buat pemerasan. Bayangin ada oknum yang tau detail transaksi finansial seorang pebisnis, terus diperas dengan ancaman “data pajak lo gue bocorin.”


Ada satu lagi yang sering kelewat: akurasi. Big Data bukan berarti selalu benar. Algoritma bisa salah interpretasi. Misalnya, ada orang beli banyak barang mewah tapi sebenernya pakai kartu kredit orang lain. Sistem bisa nge-flag dia sebagai pengemplang, padahal salah target. Kalau DJP terlalu percaya buta ke algoritma, bisa kacau.


Di sisi global, pemakaian Big Data buat pajak udah jadi tren. OECD bahkan ngedorong negara-negara buat sharing data lintas batas. Ada proyek Automatic Exchange of Information (AEOI), di mana data finansial warga negara yang punya aset di luar negeri bisa otomatis dipertukarkan. Indonesia udah ikutan. Jadi kalau orang Indo punya rekening di Singapura, datanya bisa kebaca sama DJP. Itu bentuk awal Big Data lintas negara.

Nah, kalau Big Data domestik dan global ini digabung, potensinya luar biasa. Bayangin DJP bisa liat full map: dari transaksi lokal, rekening luar negeri, sampe gaya hidup digital di media sosial. Pajak bakal jauh lebih presisi.


Tapi lagi-lagi, ini bukan cuma soal teknologi. Ini juga soal politik dan etika. Negara harus jelas: batas penggunaan data sampai mana. Transparansi harus dijaga. Publik harus tau bahwa data mereka gak disalahgunakan, dan ada mekanisme banding kalau sistem salah deteksi.

Kalau semua itu bisa dijaga, Big Data Analytics bisa jadi revolusi buat sistem pajak Indo. Penerimaan bisa naik signifikan, keadilan pajak lebih terwujud, dan negara punya fondasi lebih kuat buat biayain pembangunan. Tapi kalau salah kelola, bisa jadi bumerang. Negara dianggap jadi Big Brother yang ngawasin tiap gerak warganya.


Kesimpulannya: Big Data Analytics itu pedang bermata dua. Di tangan DJP, dia bisa jadi alat paling efektif buat nutup tax gap. Pajak jadi lebih presisi, efisien, dan adil. Tapi di sisi lain, ada risiko privasi, akurasi, dan abuse of power yang gede banget. Jadi kuncinya bukan cuma teknologinya, tapi juga governance, regulasi, dan trust publik.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top