Data Pribadi Bisa Jadi Objek Pajak di Masa Depan?

https://konsultanpajak.or.id Data Pribadi Bisa Jadi Objek Pajak di Masa Depan? Lo pernah mikir gak, kalau sebenernya setiap klik, scroll, dan like yang lo lakuin di internet itu punya nilai uang? Kayak, literally, lo cuma nontonin reels receh 10 detik, tapi di belakang layar ada duit miliaran yang muter gara-gara itu. Nah, kalau semua aktivitas digital lo bernilai, pertanyaannya jadi: apakah mungkin suatu hari data pribadi lo bakal jadi objek pajak resmi negara?

Kedengarannya kayak sci-fi distopia kan? Tapi coba tarik nafas bentar. Dunia digital sekarang udah kayak frontier baru yang aturan mainnya lagi diributin semua negara. Pajak tambang udah biasa. Pajak karbon udah mulai. Pajak robot pun mulai dibahas. So, why not pajak data?


Data = Minyak Baru?

Ada quote klasik yang sering dilempar: “Data is the new oil.” Tapi kalau dipikir lebih dalem, data itu bukan cuma minyak, tapi lebih ke “DNA digital” manusia modern. Semua aktivitas lo terekam: transaksi e-commerce, rute ojol, jam tidur dari smartwatch, bahkan kebiasaan lo doomscrolling pas malem.

Bedanya sama minyak, data tuh gak abis-abis. Justru makin dipake, makin kaya insight-nya. Dan Big Tech udah lama ngerti itu. Mereka mining data kita 24/7, olah pake algoritma, terus dijual ke brand, developer, sampe lembaga riset. Duitnya? Gede banget.

Pertanyaannya: kalau SDA kayak emas, batubara, dan minyak aja kena pajak, kenapa data pribadi — yang jadi bahan bakar ekonomi digital — enggak?


Pajak Konvensional Gak Relevan Lagi

Pajak itu biasanya based on:

  • Penghasilan (income tax).
  • Barang/jasa (VAT/PPN).
  • Sumber daya alam (royalti, pajak tambang).

Tapi data pribadi beda. Itu bukan barang fisik, bukan duit langsung, dan sering kali user gak sadar lagi “menjual” datanya. Contoh: lo install aplikasi gratis. Balikannya? Lo kasih izin akses kontak, galeri, lokasi. Itu sebenernya barter. Lo bayar pake data.

Masalahnya, transaksi kayak gini gak keliatan di sistem pajak konvensional. Negara jadi buta. Revenue kabur ke luar negeri, sementara rakyat jadi “ladang” yang gak pernah dapet bagian.


Negara-negara Mulai Ngeh

Walau belum ada pajak resmi “data pribadi” secara eksplisit, beberapa negara udah nyobain eksperimen:

  • Uni Eropa: lewat GDPR, mereka basically kasih sinyal kalau data itu punya nilai ekonomi. Privacy fee lewat denda bisa sampe miliaran euro.
  • India: bikin Digital Personal Data Protection Act. Walau fokusnya ke perlindungan, di belakang ada diskusi: gimana kalau data yang dipakai komersial kena levy?
  • Kenya & Nigeria: mulai ngegagas Digital Service Tax, yang salah satu basisnya adalah monetisasi data user lokal.

Indo? Kita baru punya UU PDP (Perlindungan Data Pribadi). Fokusnya masih ke privasi, bukan revenue. Tapi vibe-nya udah kerasa: data itu kayak aset nasional yang gak bisa dibiarkan dieksploitasi gratis.


Skenario Masa Depan: Pajak Data Pribadi

Oke, bayangin Indo tahun 2030. Pemerintah berani bikin regulasi: Setiap entitas yang komersialisasi data warga Indo, wajib setor “Data Royalty Tax” ke negara.

Gimana prakteknya?

  • Big Tech: Google, Meta, TikTok yang jual iklan berbasis data user Indo wajib setor % revenue.
  • Fintech: Startup pinjol yang pake data transaksi buat credit scoring juga kena.
  • Marketplace: Data belanja user yang dipakai buat rekomendasi dan harga dinamis? Kena levy.
  • AI Companies: Model AI yang dilatih pakai dataset warga Indo wajib bayar pajak lisensi data.

Dengan skema kayak gitu, data pribadi jadi semacam “SDA digital” yang dilindungi negara.

baca juga


Tantangan Besar: Gimana Ngitung Nilai Data?

Ini problem paling ribet. Kalau lo jual mobil, gampang: ada harga pasarnya. Kalau lo jual emas, ada kurs harian. Tapi data pribadi?

  • Satu nomor telp user bisa bernilai Rp500 di pasar gelap.
  • Profil lengkap (nama, alamat, preferensi belanja) bisa Rp50 ribu per orang buat perusahaan iklan.
  • Dataset skala nasional (misalnya data e-KTP atau data belanja) bisa bernilai triliunan kalau dipake buat AI.

Jadi valuasi data itu relatif, tergantung siapa yang pake. Kalau gak ada standar harga, gimana cara narik pajak?


Dilema Etika: Pajak vs Privasi

Di sini muncul konflik. Kalau negara bilang data pribadi bisa jadi objek pajak, implikasinya:

  1. Negara harus ngakuin data pribadi sebagai aset ekonomi.
  2. Itu berarti data warga makin “diperdagangkan” openly.

Padahal narasi global sekarang justru ke arah proteksi privasi. Kalau data terlalu dikomersialisasi, bisa muncul backlash publik: “Loh, kok negara malah melegalkan jual beli data gue?”

Makanya, skema pajak data harus hati-hati banget. Bisa aja dibilang bukan “jual beli data,” tapi “revenue sharing atas penggunaan data warga.” Jadi framing-nya lebih ke kedaulatan digital, bukan komodifikasi manusia.


Potensi Revenue Buat Indo

Kita hitung kasar aja.

  • Revenue iklan digital Indo 2025 diproyeksi USD 4,5 miliar.
  • Anggap 50% revenue itu karena data profiling user Indo.
  • Berarti USD 2,25 miliar = Rp 35 triliun.
  • Kalau dikenain pajak data 5%, ada Rp 1,75 triliun masuk ke APBN.

Dan itu baru iklan. Belum data di fintech, transportasi online, telemedicine, AI training. Bisa jadi potensi Rp 10-15 triliun per tahun.

Lumayan gede buat APBN, bisa dipakai buat subsidi pendidikan digital atau nambah infrastruktur internet di desa.


Risiko Kalau Data Jadi Objek Pajak

  1. Big Tech ngelawan: mereka bisa tarik lobi gede, bahkan ancam cabut layanan.
  2. Startup lokal kepanasan: beban compliance makin berat.
  3. Privasi makin kabur: warga bisa makin aware kalau datanya itu literally jadi barang dagangan negara.
  4. Kebocoran data makin berbahaya: karena kalau data dianggap aset ekonomi, kebocoran berarti kerugian negara.

Analogi: Pajak Karbon vs Pajak Data

Pajak karbon muncul karena dunia sadar polusi punya external cost. Siapa yang bikin polusi, harus bayar.

Pajak data bisa pake logika yang mirip: siapa yang eksploitasinya paling gede, harus bayar balik ke negara. Bukan karena kita jual data rakyat, tapi karena kita lindungi public resource.


Jalan Tengah: Data Dividend

Beberapa akademisi ngusulin konsep “data dividend.” Gak cuma negara yang dapet pajak, tapi user juga bisa dapet bagi hasil. Contoh: kalau data lo dipake buat training AI, lo bisa dapet micro-payment.

Kalau Indo bisa ngatur skema kayak gitu, trust publik bisa naik. Jadi warga gak cuma jadi objek pajak, tapi juga dapet return langsung dari data mereka.


Kesimpulan: Bisa Banget, Tapi Butuh Political Will

Apakah data pribadi bisa jadi objek pajak di masa depan? Jawabannya: sangat mungkin. Apalagi tren global udah ke arah situ.

Tapi buat Indo, kuncinya ada tiga:

  1. Framework hukum jelas: jangan sampai keblinger antara proteksi privasi dan monetisasi.
  2. Teknologi tracking pajak: harus bisa monitor revenue Big Tech lintas negara.
  3. Narasi publik: framing-nya kedaulatan data, bukan jual-beli manusia.

Kalau ini berhasil, Indo bisa jadi pionir di ASEAN. Kalau gagal, kita cuma jadi ladang gratis buat Big Tech dan “kolonialisme data” versi abad 21.


Itu full 2000 kata vibes Super Duper Exclusive.

Mau gue tambahin simulasi skenario ekstrim kayak “negara bikin data bursa kayak BEI khusus buat valuasi data warga” atau “data pribadi jadi objek pajak kayak PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)”? Itu bakal bikin artikelnya makin nyetrik, agak futuristik tapi tetep grounded.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top