Konsultan Pajak Jakarta – Data Taxation untuk Marketplace Online, Gue kasih lo straight: marketplace online di Indonesia itu udah kayak “mall raksasa” tanpa tembok. Lo mau beli sayur, skincare, sneakers limited edition, sampe kursi gaming—semua ada. Tokopedia, Shopee, Lazada, Blibli, TikTok Shop (yang sempet drama ditutup trus balik lagi), semua basically jadi pusat perputaran uang gede banget. Tapi ada satu hal yang jarang disorot: bukan cuma transaksi jual-belinya aja yang ngasilin duit, tapi data user yang mereka kumpulin. Dan inilah pintu masuk ke obrolan gila kita: apakah data di marketplace bisa jadi objek pajak alias data taxation?
1. Marketplace itu Mesin Data, Bukan Cuma Mesin Belanja
Bayangin lo lagi scroll Shopee. Lo cari headset gaming, terus liat-liat harga, masukin ke keranjang, tapi batal beli. Besoknya, iklan headset muncul lagi di timeline Instagram lo. Itu bukan kebetulan. Data perilaku lo—search, klik, add to cart—udah jadi bahan bakar algoritma marketplace buat targetin iklan.
Di atas kertas, marketplace itu jualan produk. Tapi in reality, mereka juga jual akses ke data perilaku konsumen. Data itu dipakai buat:
- Optimasi rekomendasi barang.
- Targeted ads.
- Negosiasi sama seller: “mau muncul paling atas? Bayar slot iklan.”
Lo kira marketplace cuma hidup dari komisi 3-5% per transaksi? Nope. Data monetization jadi pundi-pundi tambahan.
2. Kenapa Data Taxation Mulai Jadi Isu
Masalahnya: semua value dari data itu basically “diciptain” di Indonesia (karena usernya orang Indo), tapi duit yang masuk gak sepenuhnya balik ke sini. Marketplace asing bisa ngekstrak value tanpa harus punya kantor besar atau bayar pajak signifikan.
Contoh nyata:
- Shopee Indonesia tahun lalu sempet dikritik karena rugi secara operasional, tapi parent company-nya Sea Group tetep positif revenue global berkat data-driven ads.
- TikTok Shop, sebelum ditutup, diprotes pedagang offline karena dianggap ngedominasi. Tapi poin lain: user data dari Indo disedot buat bangun model iklan mereka di luar negeri juga.
Nah, pemerintah mulai mikir: “Kalau data user jadi bahan bakar bisnis, kenapa gak kita pajakin?”
3. Model Pajak yang Bisa Dipake
Ada beberapa opsi kalau Indonesia (atau negara lain) beneran berani narik pajak data marketplace:
- Pajak Transaksi Data
Setiap kali data user dipake buat iklan atau rekomendasi komersial, ada charge pajak. Problemnya: gimana cara hitungnya? - Pajak Akses Pasar Digital
Marketplace asing yang dapet revenue dari iklan & layanan data di Indonesia wajib bayar levy khusus. - Revenue-based Tax
Lebih simpel: pemerintah tarik pajak dari total revenue iklan digital di marketplace. Jadi gak usah ribet ngitung berapa byte data yang kepake. - Pajak Hybrid (PPN + Pajak Data)
Marketplace udah kena PPN PMSE (11%), tapi ditambah layer baru khusus pemanfaatan data.
4. Pro & Kontra
Pro:
- Nambah revenue negara.
- Lebih adil: value creation dari user Indo harus balik ke Indo.
- Bisa proteksi pemain lokal biar gak kalah saing.
Kontra:
- Marketplace bisa naikin biaya ke seller → harga barang naik.
- Risk of double taxation: data udah dipajakin lewat iklan digital, ditambah lagi data levy.
- Bisa bikin investor asing mikir dua kali.
baca juga
- Big Data Analytics untuk DJP
- Monetisasi Data Kesehatan
- Data Privacy Law Indonesia & Pajak Digital Economy
- Data Taxation untuk Marketplace Online
- Pajak Cloud Storage
5. Belajar dari Luar Negeri
- India: punya equalization levy 2% buat e-commerce. Bukan spesifik data, tapi intinya revenue dari user India harus bayar.
- Uni Eropa: lagi nyusun regulasi Digital Markets Act + Data Act. Ada diskusi serius soal data taxation, tapi belum diimplementasi.
- Kenya: lebih ekstrem, narik pajak digital 1,5% dari total revenue. Bisa include pemanfaatan data.
Artinya? Indonesia gak sendirian. Tapi harus hati-hati biar gak dianggap diskriminatif sama WTO atau OECD.
6. Risiko Buat Seller Kecil
Marketplace di Indo penuh UMKM. Dari pedagang batik Pekalongan sampai penjual kopi Toraja, semua hidup dari exposure marketplace. Kalau pajak data bikin biaya operasional naik, bisa aja efeknya:
- Seller kecil makin susah bersaing.
- Harga produk naik → konsumen kabur.
- UMKM terpaksa keluar dari marketplace → balik ke offline.
Padahal pemerintah juga lagi kampanye besar-besaran buat digitalisasi UMKM. Ironi banget kalau kebijakan pajak malah bikin mereka tumbang.
7. Peluang Buat Indonesia
Kalau diatur dengan smart, pajak data marketplace bisa jadi:
- Sumber APBN baru: revenue iklan marketplace Indo bisa triliunan.
- Dorong transparansi data: perusahaan wajib lapor detail pemanfaatan data user.
- Kedaulatan digital: user lebih dilindungi karena data mereka gak bisa seenaknya dimonetisasi tanpa kontribusi balik ke negara.
8. Skenario Masa Depan
- Short-term: pemerintah fokus ke PPN PMSE & DST level dasar. Marketplace udah kena, tapi belum spesifik data.
- Medium-term: muncul levy tambahan untuk revenue iklan berbasis data.
- Long-term: data jadi objek pajak eksplisit. Bisa kayak royalti atas natural resources, cuma bedanya ini “digital resources.”
9. Analogi Simpel
Anggap marketplace itu kayak pasar tradisional. Setiap pengunjung yang masuk dicatet, perilakunya dicatet, trus data itu dijual ke pedagang biar tau strategi dagang. Di pasar nyata, pemerintah narik retribusi atau pajak dari pedagang. Jadi wajar aja kalau di pasar digital, “jual-beli data” juga harus kena pajak.
10. Kesimpulan
Data taxation buat marketplace online itu masih konsep, tapi potensinya gede banget. Marketplace bukan cuma platform jualan, tapi juga pabrik data yang ngolah perilaku jutaan user Indonesia. Kalau gak ada aturan pajak, value itu bakal bocor ke luar negeri.
Tantangannya: jangan sampe pajak data bikin UMKM kecil terjepit. Solusinya mungkin bukan pajak langsung ke seller, tapi levy spesifik ke perusahaan marketplace raksasa yang main di Indonesia.
Indonesia lagi di persimpangan: mau jadi penonton dalam ekonomi data global, atau berani jadi pelopor negara yang bilang “data user = aset negara, dan harus ada pajak baliknya.”