https://konsultanpajak.or.id/ Monetisasi Data Kesehatan – Apakah Ada Skema Pajaknya?
Lo sadar gak kalau data kesehatan sekarang jadi komoditas paling mahal setelah minyak dan data finansial? Gila sih, bahkan startup healthtech di Indo, dari aplikasi konsultasi dokter sampe wearable kayak smartwatch, intinya lagi ngeruk satu hal: data kesehatan lo. Mulai dari tensi darah, jadwal tidur, kebiasaan olahraga, pola makan, sampai catatan rawat inap di rumah sakit. Semua direkam, disimpan, dan—yang paling penting—dimonetisasi.
Nah, masalahnya: kalau data kesehatan udah jadi sumber cuan, terus apakah negara bisa dan harus narik pajak dari monetisasi data kesehatan ini? Atau malah bakal chaos karena berurusan langsung sama privasi manusia yang paling intim?
Kita mulai dari basic. Apa sih data kesehatan? Banyak yang mikir cuma rekam medis di rumah sakit. Padahal jauh lebih luas. Data kesehatan itu juga termasuk detak jantung yang direkam Apple Watch, langkah kaki harian dari aplikasi pedometer, bahkan history pesanan lo di GoFood kalau lo terlalu sering beli fast food. Itu semua bisa dipake buat analisis kesehatan masyarakat, atau lebih ekstrim: target iklan produk obat.
Di dunia digital, data kesehatan udah diperlakukan kayak emas cair. Startup healthtech Indo makin gila-gilaan valuasinya. Ada aplikasi telemedicine yang bukan cuma nyediain konsultasi dokter, tapi juga jadi marketplace obat, laboratorium online, sampe layanan asuransi. Semua itu bergantung pada data kesehatan user. Data ini bisa dipake buat:
- Prediksi kebutuhan obat.
- Model risiko asuransi.
- Riset farmasi.
- Analisis pola penyakit masyarakat.
Itu semua ujung-ujungnya duit.
Di luar negeri, data kesehatan bahkan udah kayak pasar gelap. Bocoran data pasien rumah sakit dijual di dark web. Harganya bisa lebih mahal dari data kartu kredit. Kenapa? Karena data medis biasanya lengkap: nama, umur, alamat, nomor identitas, riwayat penyakit, asuransi, bahkan resep obat. Itu bisa dipake buat fraud atau jualan targeted produk.
Nah, di Indo sendiri mulai rame banget soal privasi data kesehatan pas kasus BPJS bocor. Ratusan juta data peserta katanya dijual online. Orang baru ngeh, “anjir, data medis bisa jadi komoditas segila ini.” Tapi dari sisi pemerintah, ada juga peluang: kalau perusahaan udah jelas-jelas monetisasi data kesehatan, harusnya ada skema pajak dong.
Sekarang bayangin. Perusahaan healthtech asing ngumpulin data kesehatan user Indo, lalu monetisasi lewat riset farmasi global. Value-nya mungkin miliaran dolar. Negara dapet apa? Nol. Sama kayak era awal e-commerce sebelum ada PPN PMSE. Semua transaksi lewat, tapi pajaknya nyaris gak tersentuh.
Dari situ muncul wacana: pajak data kesehatan. Bentuknya bisa macam-macam. Ada ide pajak transaksi kalau data dijual. Ada juga ide pajak revenue khusus untuk healthtech. Atau bahkan pajak royalti, kalau data kesehatan warga Indo dipake riset luar negeri.
Tapi masalahnya ribet. Data kesehatan beda sama data lain. Ini sensitif banget. Lo bisa pajakin iklan dari metadata belanja, tapi kalau data kesehatan? Misalnya perusahaan ngolah rekam medis buat bikin model AI prediksi kanker. Itu kan menyentuh ranah etis. Apakah adil kalau negara langsung nimbrung narik pajak?
Ada dilema. Di satu sisi, kalau gak dipajakin, perusahaan bisa cuan besar tanpa kontribusi ke negara. Di sisi lain, kalau dipajakin terlalu keras, bisa bikin inovasi kesehatan mandek. Padahal healthtech bisa bantu akses kesehatan masyarakat.
Kalau kita tarik ke regulasi, Indonesia udah punya UU PDP (Perlindungan Data Pribadi). Tapi jujur, belum spesifik ke data kesehatan. Padahal di Eropa ada GDPR yang ngasih proteksi khusus untuk sensitive data, termasuk data kesehatan. Artinya: di Indo masih ada celah.
Misalnya, kalau startup Indo jual data anonim pasien buat riset farmasi, apakah itu boleh? Kalau boleh, apakah wajib lapor pajak? Apakah nilai datanya bisa dihitung kayak transaksi barang? Belum ada aturannya.
Gue kasih contoh konkret. Ada wearable populer di Indo. Smartwatch ini ngumpulin data detak jantung, pola tidur, bahkan kadar oksigen darah. Data itu dipake buat kasih insight ke user. Tapi di belakang layar, data agregat dipake buat riset kesehatan global. Value-nya gede banget. Nah, kalau data ini dijual ke perusahaan farmasi asing, harusnya ada pajak dong. Pertanyaannya: siapa yang narik pajak? Indonesia, karena datanya dari warga Indo? Atau negara tempat perusahaan itu beroperasi?
Ini nyambung ke isu global tax reform. Sama kayak polemik pajak digital untuk Big Tech. Negara berkembang nuntut bagian yang adil. Kalau nggak, data kita cuma jadi bahan baku gratisan buat negara maju.
baca juga
- Big Data Analytics untuk DJP
- Monetisasi Data Kesehatan
- Data Privacy Law Indonesia & Pajak Digital Economy
- Data Taxation untuk Marketplace Online
- Pajak Cloud Storage
Sekarang soal monetisasi. Monetisasi data kesehatan bisa dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, lewat analisis internal buat optimasi layanan. Kedua, lewat penjualan data anonim ke pihak ketiga. Ketiga, lewat kolaborasi riset dengan perusahaan farmasi atau asuransi. Semua ini menghasilkan value. Pertanyaannya: apakah value itu masuk objek pajak di Indo?
Secara teori pajak, ada dua kemungkinan. Satu, data dianggap barang tidak berwujud (intangible asset). Dua, data dianggap jasa (service). Kalau masuk intangible asset, maka bisa kena PPN atau bahkan PPh kalau ada transaksi lintas negara. Kalau dianggap jasa, maka lebih gampang dipajakin via skema digital service tax.
Tapi inget, data kesehatan itu bukan sekadar barang komersial. Ada etika besar yang nempel. Misalnya, kalau data pasien kanker dipake buat riset obat, itu kan niatnya mulia. Tapi kalau langsung dipajakin, bisa bikin harga riset naik. Akhirnya yang rugi pasien juga.
Di sisi lain, kalau gak dipajakin, perusahaan farmasi asing bisa bikin obat dari data pasien Indo, lalu jual balik ke Indo dengan harga mahal. Negara dapet nol. Pasien malah bayar dua kali. Pertama, nyumbang data gratis. Kedua, beli obat mahal.
Ada potensi middle ground. Misalnya, bukan pajak langsung atas data kesehatan, tapi pajak atas revenue hasil komersialisasi. Jadi kalau perusahaan jual produk riset berbasis data kesehatan warga Indo, sebagian revenue kena levy khusus. Kayak model resource rent tax di industri tambang. Bedanya, ini resource digital.
Atau opsi lain: bikin skema data trust. Data kesehatan masyarakat dikelola lembaga khusus. Kalau ada pihak asing mau akses buat riset, harus bayar fee ke trust itu. Fee ini bisa jadi semacam “pajak data.” Model kayak gini udah mulai dibahas di Eropa.
Gue bisa bayangin, dalam 5–10 tahun ke depan, data kesehatan bakal jadi salah satu topik panas pajak digital. Karena trend wearable makin naik, telemedicine makin rame, dan rumah sakit makin terdigitalisasi. Monetisasi gak bisa dihindari. Dan kalau ada monetisasi, pasti ada pertanyaan pajak.
Tapi apa Indonesia siap? Dari sisi hukum, UU PDP masih umum. Dari sisi perpajakan, aturan pajak digital baru nyentuh transaksi e-commerce, iklan digital, dan sejenisnya. Belum ada klausul spesifik tentang data kesehatan. Jadi bisa jadi Indonesia bakal tertinggal kalau gak cepat adaptasi.
Kalau kita tarik ke narasi besar, data kesehatan itu minyak digital generasi berikutnya. Tapi bedanya, ini minyak yang nyentuh privasi terdalam manusia. Jadi kalau mau dipajakin, harus ekstra hati-hati. Jangan sampe niat nambah penerimaan negara malah bikin krisis kepercayaan publik.
Karena ujung-ujungnya, siapa yang mau ngasih data kesehatan kalau tau datanya bukan cuma dipake buat riset, tapi juga jadi objek pajak negara?
Jadi jawaban singkatnya: ya, secara teori data kesehatan bisa banget dipajakin kalau udah jelas dimonetisasi. Tapi praktiknya? Susah, sensitif, penuh dilema etis. Indo masih harus mikir keras: mau treat data kesehatan sebagai sumber pajak baru, atau lebih fokus ke proteksi dulu sebelum ngomong monetisasi.