konsultanpajak.or.id Pajak Cloud Storage – Apakah Masuk Kategori Digital Service Tax? Cloud storage itu udah kayak “lemari digital” buat dunia modern. Dari anak kuliahan yang nyimpen skripsi di Google Drive, sampe korporasi gede yang mindahin jutaan data ke AWS atau Azure, semua rely on cloud. Nah, makin hari makin jelas: penggunaan cloud storage bukan cuma sekadar kebutuhan, tapi juga jadi bisnis miliaran dolar. Pertanyaannya sekarang: apakah layanan cloud storage bisa dianggap sebagai objek Pajak Digital alias Digital Service Tax (DST)?
Topik ini rada tricky, karena di satu sisi cloud jelas-jelas layanan digital lintas batas. Tapi di sisi lain, konsep DST masih fokus ke iklan digital, marketplace, dan monetisasi data user. Jadi, apakah cloud storage masuk ke keranjang pajak itu? Yuk kita bedah.
1. Cloud Storage: Barang atau Jasa?
Pertama-tama, harus clear dulu. Cloud storage itu bukan barang fisik, tapi layanan (service). Lo basically nyewa space di server orang lain buat nyimpen data. Jadi definisinya:
- Bukan aset tetap kayak properti.
- Bukan barang berwujud kayak flashdisk atau harddisk.
- Lebih mirip jasa sewa + layanan digital.
Makanya, kalau dari kacamata pajak, cloud storage biasanya diperlakukan sebagai jasa digital.
Contoh:
- Lo beli paket Google One 200 GB → itu transaksi jasa digital.
- Perusahaan Indo langganan AWS 5 TB → itu juga jasa digital lintas negara.
2. Status di Indonesia Saat Ini
Di Indonesia, sejak 2020 udah ada aturan soal Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Itu artinya:
- Google Drive, Dropbox, Microsoft OneDrive, iCloud, AWS, semua udah kena PPN 11% kalau jual layanan ke konsumen Indonesia.
- Jadi kalau lo bayar Google One Rp26 ribu, ada komponen PPN di dalamnya.
Tapi, PPN ini beda sama Digital Service Tax (DST). DST biasanya muncul di level internasional (misalnya Uni Eropa, India, dll.), targetnya Big Tech yang dapet untung besar dari user di suatu negara tanpa kehadiran fisik.
Indonesia sendiri lebih sering pake istilah Pajak Transaksi Elektronik (PTE) buat nyamain DST. Sampai sekarang, cloud storage belum masuk eksplisit di keranjang itu, tapi… bisa jadi next target.
3. Kenapa Cloud Storage Layak Dipajakin ala DST
Ada beberapa alasan kenapa cloud storage makin dilirik:
- Revenue gede banget
AWS (Amazon Web Services) di Q2 2025 aja nyetak revenue lebih dari USD 25 miliar. Itu baru satu perusahaan. Microsoft Azure dan Google Cloud juga main di level serupa. - High dependency
Dari startup fintech Indo sampe BUMN, semua pake cloud. Artinya, Indonesia punya user base gede, tapi revenue larinya ke luar negeri. - Value creation terjadi di Indonesia
Data yang disimpen itu milik perusahaan atau user Indonesia. Jadi, walaupun servernya di Singapura, value bisnisnya rooted di Indo.
Logika ini mirip sama kenapa iklan digital dan marketplace asing dulu dipajakin.
4. Argumen yang Nolak DST untuk Cloud
Tapi ada juga yang skeptis. Mereka bilang:
- Cloud storage itu utility, kayak listrik atau air. Masa listrik dipajakin kayak DST?
- Cloud udah kena PPN → double taxation kalau ditambah DST.
- Kalau negara agresif narik pajak, Big Tech bisa naikin harga → ujung-ujungnya konsumen yang nanggung.
Skeptisisme ini bikin banyak negara hati-hati.
5. Praktik di Negara Lain
Yuk kita cek:
- India → punya equalization levy (DST versi mereka), tapi mostly ke iklan digital & e-commerce. Cloud storage belum eksplisit jadi target.
- Uni Eropa → masih di level debat pajak digital global (OECD Pillar 1 & 2). Cloud dianggap “ancillary service” yang bisa masuk ke kategori pajak baru di masa depan.
- Kenya & Nigeria → punya pajak digital luas, termasuk layanan langganan online. Cloud storage bisa kena secara tidak langsung.
Artinya, tren global: cloud belum dipajakin langsung dengan DST, tapi masuk lingkaran pajak digital lewat PPN atau levy khusus.
baca juga
- Data Taxation untuk Marketplace Online
- Pajak Cloud Storage
- APBN Tanpa Sri Mulyani
- Cross-border Data Transfer
- Regulasi Data Privacy & Dampaknya ke Pajak Global
6. Risiko Kalau Masuk DST
Kalau Indonesia (atau negara lain) beneran masukin cloud storage ke DST, efeknya bisa:
- Biaya cloud naik → startup Indo makin terbebani. Bayangin biaya operasional Gojek atau Tokopedia kalau langganan cloud jadi 10% lebih mahal.
- Data localization jadi makin kenceng → negara mungkin dorong perusahaan pakai cloud lokal (kayak Telkomsigma atau Biznet GIO).
- Persaingan makin panas → Big Tech bisa makin agresif bikin data center di Indo biar gak kena DST.
7. Kesempatan Buat Indonesia
Kalau Indo main cerdas, DST di cloud bisa jadi peluang:
- Revenue baru APBN dari sektor digital.
- Insentif investasi → Big Tech dipaksa bikin data center di Indo. AWS udah ada, Google Cloud juga masuk, Microsoft nyusul.
- Proteksi industri lokal → cloud lokal bisa lebih kompetitif karena asing kena DST.
Tapi strategi harus balance: jangan sampe bikin investor kabur.
8. Skenario Masa Depan
Ada tiga skenario besar:
- Status Quo → cloud storage tetap cuma kena PPN PMSE.
- Hybrid → cloud storage kena PPN + levy khusus (kayak DST mini).
- Full DST → cloud storage masuk kategori pajak digital global, dihitung berdasarkan revenue user di Indonesia.
Paling realistis? Hybrid. Karena Indo butuh revenue, tapi juga gak mau ngerusak iklim digital.
9. Analogi Simpel
Anggap aja cloud storage kayak gudang ekspedisi internasional. Lo sewa space di Singapura buat simpen barang (data). Selama ini cuma kena pajak sewa standar (PPN). Tapi bayangin kalau pemerintah bilang: “barang lo dari Indo, disimpen di luar negeri, revenue hasil space itu harus bagi hasil sama negara.” Itu vibe DST di cloud.
10. Kesimpulan
Apakah cloud storage masuk kategori Digital Service Tax? Jawabannya: belum secara eksplisit, tapi sangat mungkin di masa depan.
- Sekarang: cuma kena PPN (di Indo udah jalan).
- Tren global: cloud dilihat sebagai potensi besar buat dipajakin.
- Risiko: biaya naik, startup kecekik.
- Peluang: revenue baru, dorong data center lokal, positioning Indo di global tax reform.
Jadi, cloud storage ini lagi di zona abu-abu. Bukan sekadar utility, tapi juga bukan pure iklan digital. Kalau Indo bisa bikin aturan cerdas, bisa jadi game-changer: bukan cuma dapet duit, tapi juga narik investasi digital.