Pajak IoT Data

konsultanpajak.or.id Pajak IoT Data – Masa Depan atau Sekadar Diskusi?

Kita lagi masuk fase absurd dari ekonomi digital. Semua benda sekarang bisa jadi “pintar.” Jam tangan bisa ngukur detak jantung. Kulkas bisa nge-track makanan. Mobil bisa kirim data ke server. Itu semua namanya Internet of Things alias IoT.

Nah, masalahnya: semua data itu punya nilai ekonomi. Bisa dijual, bisa dipakai buat riset, bisa dipakai buat ngembangin iklan. Di titik ini, muncul pertanyaan nakal: apakah data IoT bisa kena pajak?

Lo bayangin mobil listrik kayak Tesla atau Wuling Air EV. Setiap kali lo nyalain, dia ngirim data. Lokasi lo, kecepatan, cara lo ngerem, kebiasaan charging. Data itu dikumpulin produsen, dipakai buat analisis produk, bahkan bisa dijual ke pihak ketiga. Ada duit gede di situ. Kalau ada duit, biasanya ada pajak. Tapi… apakah bisa?

Di Indo, obrolan soal pajak digital udah rame dari 2020-an. Pajak e-commerce, pajak iklan digital, bahkan wacana pajak robot. Tapi pajak IoT data masih sepi. Masih dianggap teori. Belum ada regulasi yang jelas.

Sementara di luar negeri, diskusinya udah mulai. Uni Eropa, misalnya, lagi dorong Data Act. Aturannya: data yang dihasilkan perangkat IoT harus bisa diakses pengguna, dan kalau dipakai buat komersial, harus ada aturan bagi hasil. Itu kayak bilang: data IoT itu aset, dan aset biasanya gak jauh dari pajak.


Kalau di Indo, ada dua layer masalah. Pertama: data IoT itu masuk kategori data pribadi. Jadi sebelum ngomong pajak, kita harus ngomong UU PDP (Perlindungan Data Pribadi). Kalau data dipungut pajak, berarti negara harus tau siapa pemilik data. Itu bisa bentrok sama prinsip privasi.

Kedua: value data IoT itu tricky. Misalnya smartwatch lo ngumpulin data detak jantung. Apakah itu punya nilai pajak langsung? Atau baru bernilai kalau diolah perusahaan jadi laporan kesehatan? Artinya, titik “pemajakan” masih kabur.


Mari kita kasih contoh nyata. Lo punya smart fridge. Kulkas ini ngumpulin data: seberapa sering lo buka pintu, makanan apa yang paling sering disimpan, kapan lo belanja ulang. Produsen kulkas bisa jual data itu ke perusahaan ritel buat prediksi pola konsumsi. Itu jelas ada monetisasi.

Kalau di level ini, data IoT udah kayak komoditas. Dan kalau jadi komoditas, pemerintah pasti mikir buat narik pajak. Sama kayak CPO (Crude Palm Oil) atau batu bara. Bedanya: ini data pribadi. Lebih sensitif, lebih ribet.


IoT data taxation juga nyambung ke isu internasional. Karena IoT gak kenal batas negara. Misalnya, pabrik di Karawang pasang sensor IoT yang ngirim data ke server di Singapura. Data itu dipakai buat optimasi mesin, bahkan buat laporan global. Pertanyaan: pajaknya dibayar di Indo atau di Singapura? Atau malah dua-duanya ngaku punya hak?

Kalau gak ada konsensus internasional, siap-siap aja chaos. Perusahaan bisa kabur ke negara dengan aturan paling longgar. Sama kayak kasus digital service tax yang ributnya udah bertahun-tahun.

baca juga


Sekarang, mari kita bahas pro dan kontra.

Pro:

  • Pajak IoT data bisa jadi sumber penerimaan baru. Negara gak cuma tergantung pajak tradisional.
  • Bikin playing field lebih adil. Perusahaan yang cuan dari data gak bisa terus-terusan ngeles.
  • Bisa dorong akuntabilitas perusahaan: lo dapet duit dari data user, lo bayar pajak buat masyarakat.

Kontra:

  • Sulit nentuin nilai data IoT. Apakah pajaknya dihitung dari raw data, atau dari nilai setelah diolah?
  • Risiko double taxation. Data bisa dipakai lintas negara. Siapa yang berhak tarik pajak?
  • Bentrok dengan privasi. Negara harus hati-hati biar gak keliatan kayak “ngejual” data rakyat.

Kalau ditarik ke konteks Indo, ada potensi unik. Kita punya pasar gede, populasi 270 juta lebih, dan IoT devices makin marak. Dari motor listrik sampe smart home device. Artinya, volume data gede banget.

Tapi infrastruktur regulasi kita masih rapuh. UU PDP baru disahkan 2022. Itu pun implementasinya masih nyicil. Belum ada turunan spesifik soal monetisasi data IoT. Jadi, ngomong pajak IoT di Indo sekarang masih kayak ngebahas flying car. Seru, futuristik, tapi belum kejadian.


Tapi jangan salah. Wacana kayak gini penting. Kenapa? Karena dunia digital jalan lebih cepat dari regulasi. Kalau kita nunggu, bisa-bisa udah telat. Kayak kasus pajak e-commerce dulu. Pas booming 2010-an, pemerintah masih sibuk debat. Baru keluar aturan beberapa tahun kemudian, itu pun masih banyak bolongnya.

Kalau skenario IoT data taxation beneran kejadian, mungkin modelnya kayak gini: perusahaan yang ngumpulin dan monetisasi data IoT wajib lapor nilai ekonominya. Lalu dikenai pajak persentase tertentu, entah kayak PPh (pajak penghasilan) atau PPN (pajak pertambahan nilai).

Atau, bisa juga lewat skema bagi hasil kayak royalti. Misalnya, data IoT warga dipakai perusahaan buat cuan, maka ada revenue share dengan negara. Lebih soft, gak terlalu berat kayak pajak langsung.


Ada juga opsi global. OECD bisa bikin standar pemajakan IoT data lintas negara. Mirip BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) 2.0 buat pajak digital. Jadi gak ada negara yang ngerasa dirugiin. Tapi ya… kalau liat sejarah, prosesnya panjang banget. Negosiasi pajak global itu ribet, penuh tarik ulur, dan bisa makan waktu dekade.


Jadi, balik ke pertanyaan awal: Pajak IoT data, masa depan atau sekadar diskusi? Jawabannya: saat ini masih sekadar diskusi. Tapi arah ke depan jelas: kalau data makin bernilai, pajak pasti ikut nyusul. Hukum pajak selalu punya naluri ngikutin duit. Dan duit masa depan ada di data.


Kalau besok ada headline “Indonesia Siapkan Skema Pajak IoT Data,” jangan kaget. Itu bukan sci-fi. Itu cuma adaptasi. Bedanya, apakah kita siap dengan regulasi, transparansi, dan trust publik? Atau kita bakal masuk jebakan baru: negara dapet duit, rakyat merasa diawasi tanpa kontrol.


Mau gue bikin breakdown lebih dalam soal sektor spesifik IoT yang paling potensial kena pajak (kayak otomotif, smart health, sama industrial IoT), biar keliatan roadmap realistisnya?

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top